Catatan Ringan Di Depan Televisi


Popularitas Oh Popularitas
Setiap orang punya impian untuk menjadi populer.  Namun tidak semua orang siap menjadi orang populer. Populer menyebabkan satu kehidupan menjadi bertautan secara bebas dengan banyak kehidupan lainnya.  Sehingga tidak jarang sering kita mendengar beberapa orang yang populer menyatakan lebih senang menjadi orang biasa. Popularitas sebuah kata yang menjadi impian banyak orang namun bersamaan dengan itu betapa banyak orang ingin mencampakkan popularitasnya namun tak berdaya karena predikat orang populer sudah terlanjut melekat pada dirinya.  Ada harga untuk menjadi populer dan banyak harga yang harus dibayar ketika sudah populer.

Gelar Oh Gelar
Dalam sebuah briefing kepengurusan yang saya ada di dalamnya. Suatu saat ketua melontarkan satu pertanyaan dan pernyataan “ohya, apakah nama-nama dalam kepengurusan ini harus dilengkapi dengan gelarnya juga? Dalam organisasi di mana saya ada, tidak ada kebiasaan menulis gelar!”.  Hmmm... menggelitik pernyataan beliau. Memang selama menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi theologi saya sudah terbiasa harus menuliskan nama para pengajar dengan gelar yang lengkap, dan itu meradiasi juga ke jemari saat menuliskan nama sendiri baik dalam surat maupun dalam buletin-buletin yang harus saya kerjakan.  Walau sejujurnya hati kecil sering berkata, gelar yang kamu punya sich kalau dalam istilah game ya masih “easy” gitu dech. Ha ha ha.  Dalam hati saya, jadi pengen juga membiasakan diri tidak mencantumkan gelar. Karena toh pada pada akhirnya gelar itu akan menjadi sangat tegas terasa ketika seseorang mampu mempertanggung jawabkan gelar tersebut, baik ketika sedang menjalani hidup dan mempresentasikan sesuatu tentang kehidupan.   Mungkin hal ini akan menjadi berbeda kalau berbicara di kawasan akademisi. Tulislah gelar saat itu harus, tapi tidak selalu mengumandangkan gelar, jika memang tidak harus.

Basa “oh” Basi
Entah mengapa basa basi mengandung kata basi. Kita tahu bila makanan atau informasi mendapat tambahan kata basi, maka makanan dan informasi tersebut suda tidak bermanfaat lagi.  Saya suka melakoni basa basi, karena basa basi identik dengan kesopanan dan tata krama orang timur.  Namun suatu saat saya membayangkan satu hal yang lucu, saat keponakan saya dengan memegang sepiring nasi plus lauk berkata “makan om”. Dalam hati saya ini dia basa basi. Kemudian saya membayangkan bagaimana cara menghapus kebiasaan basa basi dalam menawarkan makanan.  Menurut saya satu-satunya cara adalah siapapun yang mendapat tawaran basa basi tentang makanan tidak peduli konteksnya apa, langsung saja merebut makanan tersebut dari tangan si penawar basa basi. Saya yakin jika teori saya di atas dipraktekkan dengan konsisten selama lima tahun, satu generasi akan kehilangan naluri ber basa-basi menawarkan makanan seperti itu.  Menurut saya alangkah elegannya bila tawaran basa basi itu di ganti dengan kalimat yang menyiratkan permisi, misalnya dengan kalimat “saya makan siang ya, atau saya minum ya”.  Tapi bukan berarti bila anda memang memiliki makanan dan minuman yang cukup ada pembenaran untuk selalu mengucapkan permisi yang sebenarnya sedang menyiratkan tidak ingin berbagi dengan orang lain. Itu hal yang sangat berbeda!!
                                           

Komentar

Postingan Populer