Aku Kamu Dan Dia
Prada pratu lari pagi,
sersan dua sersan satu mengikuti,
letnan dua letnan satu mengawasi
kopral dua kopral satu minum kopi.
Demikian sepenggal lirik lagu
yang lumayan viral di tiktok. Entah apa maknanya namun di kolom komentar ada
yang mengatakan bahwa kopral adalah mbahnya
batalyon, punya pengalaman tempur yang paling mumpuni, bahkan sebelum
sersan dan letnan turun ke medan laga para kopral adalah orang yang paling
duluan bersabung nyawa. Itu sebabnya wajar jika para suhunya pertempuran ini “di-hadiah-i situasi” minum kopi, saat yang
lain lari pagi.
Ada pula seorang pria berkomentar
dengan logat khasnya tentang trend orang minum di starbuck, tidak jarang
ditemukan orang-orang yang super sibuk dengan laptopnya sambil menyeruput kopi.
Pria kocak itu berkata “jangan merasa hebat kalau ke starbuck masih ketak ketik
dengan LEPTOP, anak buahnya dia itu!
kalau bos pasti dia duduk santai, bos hanya sibuk minum kopi”. Dalam hati
setuju juga, bukankah owner tidak perlu repot, mereka yang keahliannya ditukar
dengan sejumlah uanglah yang harus selalu sibuk atau terlihat sibuk demi
menjaga marwahnya sebagai pekerja rajin dan terpuji.
Seorang pekerja yang tidak sempat
pulang karena lebaran, mengungkapkan betapa tertusuk hatinya setiap kali ada
yang bertanya “gak mudik mas”. Dengan emosional dia berujar “orang mah tidak
tahu apa situasi kita, dan gak bakalan bisa beri solusi apalagi beri uang untuk
saya pulang”. Dalam hati sayapun membenarkan, banyak orang yang suka menghardik
orang lain walau hanya dengan pertanyaan dan pernyataan.
Pernah di suatu masa, bersama
seorang kawan aku berkunjung menjumpai teman kami yang sudah sangat sibuk
bekerja. Ia bersemangat, namun ada pernyataan-pernyataan yang lugas namun
mengandung luka. Dia berkata “saya bekerja di lembaga ini agar orang-orang kita
tidak di tindas lagi sama orang titik titik.” Dalam perjalanan pulang kawanku berkata “itulah manusia, setiap orang
pasti berupaya menunjukkan betapa bergengsinya profesi yang sedang ia jalani”.
Jauh setelah itu aku mendengar kini ia sibuk menjadi marketing salah satu
produk, dan kini kebanggaanyapun telah berubah. Bahkan kebanggaanpun bisa move on lho.
Entah masuk dalam ranah sosial
atau psikologi, aku tak tahu, tapi sejatinya manusia:
Pertama setiap orang punya pengalaman hidup masing-masing. Kopral
bukan pangkat yang tinggi tapi jika bicara pengalaman lapangan, boleh di adu,
bahkan sekelas letnan yang notabene terdidik secara akademik di kancah akademi
harus mendengar dan tidak bijak jika mengabaikan masukan dari kopral-kopral
yang pagi itu minum kopi.
Kedua setiap orang punya porsi dan tanggung jawabnya masing-masing.
Tidaklah elok jika berkecil hati jika engkau tidak sesibuk mereka yang menenggak
kopi di starbuck, kopi kenangan atau makan es krim di mixue sambil “mantengin”
layar empat belas inci yang bernama laptop. Lihatlah sisi baiknya, engkau merdeka
karena tidak dikejar tenggat waktu, dan jangan-jangan engkaupun adalah owner
walaupun bagi orang lapakmu itu sederhana namun dari sanalah engkau hidup dan
bahagia. Apalagi jika darinya engkau berguna bagi sesama; bersedekah, peduli
pada orang yang membutuhkan. Pokoknya engkau tidak menenggak berkat itu
sendirilah.
Ketiga jangan bermuram durja karena tahun lalu atau kemarin belum
bisa pulang kampung. Mungkin yang bertanya dan memberi pernyataan punya derita
dan penyesalan yang sama atau malah lebih. Toh walaupun maksudnya menyindir
ingatlah tidak akan pernah ada orang yang akan melempar segepok uang untuk
mudik atau refreshing. Bahkan saat minyak goreng di dapurmu tiris, tak akan
pernah ada yang tahu, atau mungkin banyak yang pura-pura tidak tahu.
Keempat setiap orang berhak berbangga atas profesi dan yang sedang
dikerjakannya. Namun apa yang kita banggakan tidaklah pantas seperti orang yang
berada di puncak gunung. Dari ketinggian ia sangat senang melihat orang lain
kecil, tapi disaat yang sama iapun lupa
bahwa orang yang berada di bawah juga melihatnya sangat kecil. Ngeri juga loh,
kalau ternyata orang-orang dari bawahlah yang dapat melihat bahwa tanda-tanda
gunung tempat mereka yang di ketinggian itu berpijak, sebentar lagi meletus.
Setelah membaca tulisan ini,
temanku berkata “lah tumben gak pakai
ayat-ayat suci”! Sambil berbisik aku berkata “INI ASUMSI” tidak baik apa-apa pakai ayat, takut dosa!
@johrdy
Burangkeng 10 Mei 2023
Komentar
Posting Komentar